Kateristik Kota



Menurut Soekandar Wirjaatmadja (1985 : 133), 
kota adalah suatu himpunan penduduk masal yang tidak agraris, yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, kesenian dan ilmu pengetahuan. Dari pengertian tersebut, kita dapat memahami bahwa kota memiliki karakteristik dimana sebagian besar penduduknya tidak bermatapencaharian sebagai petani. Kebanyakan, penduduk kota bekerja pada sektor perdagangan, industri dan jasa. Kemudaian kota juga merupakan pusat kegiatan ekonomi dimana arus perputaraan uang relatif cepat, daya beli masyarakat tinggi dan banyak orang dari daerah luar yang datang ke daerah tersebut untuk mencari pekerjaan.

Dalam kaitannya dengan desa, kota dapat diibaratkan sebagai core (inti), sementara daerah sekitarnya bertindak sebagai penyangga atau daerah pinggiran. Kota sebagai pusat pemerintahan menunjukkan bagaimana dominasi politik sebagian daerah atas daerah yang lainnya. Dominasi tersebut ditandai dengan pembanguan yang masif dan kemajuan yang cepat dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Fasilitas pendidikan di perkotaan lebih lengkap dari pada di desa, hal tersebut menyebabkan kota sebagai pusat pendidikan. Oleh karena itu, banyak pemuda desa yang berbondong-bondong pergi ke kota untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi di kota.

Menurut Khairuddin (2000 : 13-21), kota mempunyai karakterisasi-karakterisasi yang melekat padanya, dan dapat diamati melalui sistem dan jaringan kehidupan sosial masyarakat. Pada umumnya, karakterisasi kota adalah hal-hal yang bertolak belakang dengan karakterisasi desa. Menurutnya Karakteristik kota secara sosiologis meliputi:

1. Pekerjaan
Apabila ditinjau dari segi pekerjaan, orang-orang kota lebih banyak bekerja di tempat yang tertutup, seperti di dalam kantor sehingga tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Pekerjaan masyarakat kota tidak begitu banyak membutuhkan lahan yang luas. Lain halnya dengan orang-orang di desa yang kebanyakan dari mereka bekerja di luar ruangan (seperti di sawah) yang sangat dipengaruhi oleh alam. Mata pencaharian pada sektor agraris membutuhkan lahan yang luas. Hal tersebut menunjukkan bagiamana sifat pekerjaan di kota yang tidak bergantung pada alam, sedangkan pekerjaan orang-orang desa sangat bergantung pada alam. Kondisi ini menyebabkan tingkat produktivitas masyarakat kota lebih besar dari pada produktivitas masyarakat desa.

Disamping itu, pekerjaan di kota mempunyai lebih bervariasi dimana tingkat spesialisasi kerjanya sangat tinggi. Hal ini menyebabkan terjadinya kompleksitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat kota dan sifat saling ketergantungan satu sama lain. Biasanya kemampuan yang di miliki masyarakat kota bersifat spesifik pada satu bidang tertentu, namun di kuasai secara mendalam.

Misalnya seorang dokter gigi, ia tidak dapat membuat rumahnya sendiri, ia memerlukan bantuan orang lain dengan latarbelakang di bidang bangunan. Begitu pun si tukang bangunan, ia harus pergi ke dokter gigi saat giginya sedang sakit. Lain halnya dengan di desa dimana kebanyakan dari mereka mempunyai kemampuan dalam berbagai bidang. Seorang petani mungkin saja mempunyai keahlian pada bidang yang lain seperti pengobatan tradisional, keahlian membuat rumah resederhana, dan lain sebagainya. Ia dapat melakukan segala hal dalam hidupnya.

2. Ukuran Masyarakat
Dilihat dari segi jumlah penduduknya, daerah kota memiliki jumlah penduduk yang banyak sehingga menjadi daerah padat penduduk dan banyaknya bangunan-bangunan yang berdempet-dempet, baik untuk tempat pekerjaan maupun tempat tinggal. Berbeda dengan di pedesaan, yang sangat membutuhkan tanah luas untuk pekerjaan mereka, di kota meskipun nilai tanah lebih tinggi, tetapi untuk bekerja orang tidak membutuhkan tanah yang luas sebagaimana bidang pertanian.

Tidak ada keseragaman dari masing-masing negara untuk mengukur jumlah penduduk agar suatu komunitas disebut sebagai kota. Kriteria jumlah penduduk kota berkisar mulai dari 2.500 orang sampai 12,5 juta orang. Sesuai dengan jumlah penduduk dan luas wilayah kota inilah yang menimbulkan adanya pembagian kota menjadi : kota kecil, sedang, dan kota besar. Bagi PBB ukuran populasi kota (urban) adalah 20.000 orang lebih; berikutnya 500.000 ke atas adalah kota besar; 2.500.000 ke atas adalah kota multi juta; dan 12.500.000 ke atas adalah kota metropolitan (Marbun, 1979: 28).

3. Kepadatan Penduduk
Akibat dari jumlah penduduk yang sangat besar adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk sendiri adalah rasio antara jumlah penduduk dengan luas wilayah kota yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri kita dapat jumpai kota-kota yang sangat padat seperti: Jakarta, Surabaya, Yokjakarta, Medan, dan Makassar. Kepadatan ini sudah mencapai 1.000 – 2.500 jiwa per kilometer persegi.

Menurut Lynn Smith (1951: 47 – 48), terdapat dampak positif dan dampak negatif dari kepdatan penduduk yang tinggi, yaitu:
Dampak positifnya adalah (1) Kontak sosial yang luas; (2) Tersedianya semua sarana untuk pelayanan; (3) Kesempatan untuk spesialisasi; (4) Asosiasi yang bervariasi, yang memungkinkan orang untuk menyeleksinya; (5) Bebas gossip dari anggota-anggota primer.; (6) Sekolah-sekolah yang prima; (7) Tersedianya fasilitas untuk rekreasi.

Sementara itu dampak negatifnya adalah (1) Kemacetan, kebisingan dan kegaduhan.; (2) Kurangnya keleluasaan secara pribadi; (3) Tingginya biaya hidup; (4) Hubungan yang bersifat impersonal; (5) Pencemaran udara akibat asap kendaraan, rokok, jelaga; (6) Isolasi psikologis; (7) Ketegangan, nervoses, dan sebagainya.

4. Lingkungan
Lingkungan masyarakat lebih bersifat buatan (artifisial). Lingkungan bagi masyarakat kota kebanyakan sudah dibentuk oleh teknologi atau tangan manusia. Lynn Smith (1951: 48) berpendapat bahwa di kota orang-orang membuat lingkungan mereka sedemikian rupa sehingga menjadi perisai antara mereka dengan gejala-gejala alam. Misalnya dengan membuat AC, alat pemanas, tanggul-tanggul pencegah banjir. Yang dilakukan masyarakat kota bukanlah berdaptasi agar selaras dengan alam, melainkan berupaya mengadaptasikan alam agar sesuai dengan keinginannya.

5. Diferensiasi Sosial
Karakteristik yang kentara apda masyarakat kota adalah terjadinya diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial yang terjadi di kota semakin kelihatan dengan adanya perbedaan-perbedaan yang besar dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Menurut T. Lynn Smith (1951: 50), perbedaan ini berkaitan erat dengan perbedaan asal-usul populasi di pedesaan dan perkotaan. Anak-anak yang lahir di kota sering tidak dapat mengganti dan memenuhi kembali populasi isi kota tersebut. Selain itu, bertamabahnya penduduk kota lebih banyak diakibatkan oleh faktor-faktor migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, yang secara khusus sering dikenal dengan urbanisasi. Sebagai akibat dari urbanisasi ini, penduduk kota sangat bervariasi, baik sikap, suku bangsa, bahasa, dan lain-lainnya. Oleh sebab itulah sifatnya sangat heterogen

Pitirim Sorokin dan Zimmerman (Smith, T. Lynn, 1951: 50) mengungkapkan bahwa “kota sangat ditandai oleh heterogenitas, keragaman suku, dan unsur-unsur budaya, sehingga benar-benar menjadi ‘ tempat bercampur’ (melting pot)”. Orang-orang kota hidup di tengah-tengah perbedaan yang besar, yang secara tetap berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai perbedaan-perbedaan dalam ide, kepercayaan, tata kelakuan, bahasa, posisi ekonomi, jabatan, tradisi keagamaan, moral dan sebagainya.

2. Ukuran Masyarakat
Dilihat dari segi jumlah penduduknya, daerah kota memiliki jumlah penduduk yang banyak sehingga menjadi daerah padat penduduk dan banyaknya bangunan-bangunan yang berdempet-dempet, baik untuk tempat pekerjaan maupun tempat tinggal. Berbeda dengan di pedesaan, yang sangat membutuhkan tanah luas untuk pekerjaan mereka, di kota meskipun nilai tanah lebih tinggi, tetapi untuk bekerja orang tidak membutuhkan tanah yang luas sebagaimana bidang pertanian.

Tidak ada keseragaman dari masing-masing negara untuk mengukur jumlah penduduk agar suatu komunitas disebut sebagai kota. Kriteria jumlah penduduk kota berkisar mulai dari 2.500 orang sampai 12,5 juta orang. Sesuai dengan jumlah penduduk dan luas wilayah kota inilah yang menimbulkan adanya pembagian kota menjadi : kota kecil, sedang, dan kota besar. Bagi PBB ukuran populasi kota (urban) adalah 20.000 orang lebih; berikutnya 500.000 ke atas adalah kota besar; 2.500.000 ke atas adalah kota multi juta; dan 12.500.000 ke atas adalah kota metropolitan (Marbun, 1979: 28).

3. Kepadatan Penduduk
Akibat dari jumlah penduduk yang sangat besar adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk sendiri adalah rasio antara jumlah penduduk dengan luas wilayah kota yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri kita dapat jumpai kota-kota yang sangat padat seperti: Jakarta, Surabaya, Yokjakarta, Medan, dan Makassar. Kepadatan ini sudah mencapai 1.000 – 2.500 jiwa per kilometer persegi.

Menurut Lynn Smith (1951: 47 – 48), terdapat dampak positif dan dampak negatif dari kepdatan penduduk yang tinggi, yaitu:
Dampak positifnya adalah (1) Kontak sosial yang luas; (2) Tersedianya semua sarana untuk pelayanan; (3) Kesempatan untuk spesialisasi; (4) Asosiasi yang bervariasi, yang memungkinkan orang untuk menyeleksinya; (5) Bebas gossip dari anggota-anggota primer.; (6) Sekolah-sekolah yang prima; (7) Tersedianya fasilitas untuk rekreasi.

Sementara itu dampak negatifnya adalah (1) Kemacetan, kebisingan dan kegaduhan.; (2) Kurangnya keleluasaan secara pribadi; (3) Tingginya biaya hidup; (4) Hubungan yang bersifat impersonal; (5) Pencemaran udara akibat asap kendaraan, rokok, jelaga; (6) Isolasi psikologis; (7) Ketegangan, nervoses, dan sebagainya.

3. Kepadatan Penduduk
Akibat dari jumlah penduduk yang sangat besar adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk sendiri adalah rasio antara jumlah penduduk dengan luas wilayah kota yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri kita dapat jumpai kota-kota yang sangat padat seperti: Jakarta, Surabaya, Yokjakarta, Medan, dan Makassar. Kepadatan ini sudah mencapai 1.000 – 2.500 jiwa per kilometer persegi.

Menurut Lynn Smith (1951: 47 – 48), terdapat dampak positif dan dampak negatif dari kepdatan penduduk yang tinggi, yaitu:
Dampak positifnya adalah (1) Kontak sosial yang luas; (2) Tersedianya semua sarana untuk pelayanan; (3) Kesempatan untuk spesialisasi; (4) Asosiasi yang bervariasi, yang memungkinkan orang untuk menyeleksinya; (5) Bebas gossip dari anggota-anggota primer.; (6) Sekolah-sekolah yang prima; (7) Tersedianya fasilitas untuk rekreasi.

Sementara itu dampak negatifnya adalah (1) Kemacetan, kebisingan dan kegaduhan.; (2) Kurangnya keleluasaan secara pribadi; (3) Tingginya biaya hidup; (4) Hubungan yang bersifat impersonal; (5) Pencemaran udara akibat asap kendaraan, rokok, jelaga; (6) Isolasi psikologis; (7) Ketegangan, nervoses, dan sebagainya.

4. Lingkungan
Lingkungan masyarakat lebih bersifat buatan (artifisial). Lingkungan bagi masyarakat kota kebanyakan sudah dibentuk oleh teknologi atau tangan manusia. Lynn Smith (1951: 48) berpendapat bahwa di kota orang-orang membuat lingkungan mereka sedemikian rupa sehingga menjadi perisai antara mereka dengan gejala-gejala alam. Misalnya dengan membuat AC, alat pemanas, tanggul-tanggul pencegah banjir. Yang dilakukan masyarakat kota bukanlah berdaptasi agar selaras dengan alam, melainkan berupaya mengadaptasikan alam agar sesuai dengan keinginannya.

5. Diferensiasi Sosial
Karakteristik yang kentara apda masyarakat kota adalah terjadinya diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial yang terjadi di kota semakin kelihatan dengan adanya perbedaan-perbedaan yang besar dalam aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Menurut T. Lynn Smith (1951: 50), perbedaan ini berkaitan erat dengan perbedaan asal-usul populasi di pedesaan dan perkotaan. Anak-anak yang lahir di kota sering tidak dapat mengganti dan memenuhi kembali populasi isi kota tersebut. Selain itu, bertamabahnya penduduk kota lebih banyak diakibatkan oleh faktor-faktor migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan, yang secara khusus sering dikenal dengan urbanisasi. Sebagai akibat dari urbanisasi ini, penduduk kota sangat bervariasi, baik sikap, suku bangsa, bahasa, dan lain-lainnya. Oleh sebab itulah sifatnya sangat heterogen


Pitirim Sorokin dan Zimmerman (Smith, T. Lynn, 1951: 50) mengungkapkan bahwa “kota sangat ditandai oleh heterogenitas, keragaman suku, dan unsur-unsur budaya, sehingga benar-benar menjadi ‘ tempat bercampur’ (melting pot)”. Orang-orang kota hidup di tengah-tengah perbedaan yang besar, yang secara tetap berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai perbedaan-perbedaan dalam ide, kepercayaan, tata kelakuan, bahasa, posisi ekonomi, jabatan, tradisi keagamaan, moral dan sebagainya.


Menurut Schoorl (1980: 106-107) timbulnya diferensiasi ini, terutama yang bersifat struktural, dikarenakan adanya peralihan fungsi-fungsi yang dahulunya dipegang oleh kerabat keluarga, tetapi sekarang dipegang oleh organisasi-organisasi yang lebih spesialis. Sebagai contoh disebutkan dengan demikian : di dalam masyarakat tradisional, kelompok kerabat itu mrupakan satuan-satuan penting yang menjadi dasar organisasi untuk mengadakan berbagai kegiatan, khususnya untuk satuan produksi, yang anggota-anggotanya bersama-sama menggarap tanah atau melakukan suatu pekerjaan. Karena proses modernisasi, kelompok kerabat kehilangan fungsi itu. Hal ini kelihatan bilamana kaum lelaki mulai bekerja di industri atau pertambangan. Ini lebih menyolok lagi, apabila kaum lelaki untuk waktu yang singkat atau lama pergi ke kota dan meninggalkan anak isterinya di desa. Apalagi hal ini dilihat di kota, di mana aktivitas mereka sehari-hari tidak memungkinkan untuk berkumpul setiap saat. Tidak jarang terjadi waktu mereka habis di tempat pekerjaan. Kalaupun ada hubungan yang agak erat, itupun karena mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan saling menguntungkan satu sama lain.

6. Stratifikasi Sosial
Apabila dilihat dari aspek stratifikasi sosialnya, masyarakat kota cenderung berstatifikasi lebih tajam daripada pedesaan. Di kota, perbedaan kelas ekonomi lebih nyata terlihat. Kebutuhan-kebutuhan akan suatu kelembagaan yang dapat menampung aspirasi dan kepentingan masyarakat kota, status dan peranan bagi masyarakat kota. Sedangkan organisasi itu sendiri lebih banyak merupakan organisasi yang terbentuk dari mereka yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama, seperti misalnya: Perkumpulan Bridge, Golf, atau organisasi olahraga bergengsi lainnya. Sedangkan dalam dunia usaha terdapat juga kecenderungan untuk membagi kelompok pengusaha atas pengusaha besar, menengah, dan kecil.

Tetapi berbeda dengan di desa,  yang mempunyai sifat tertutup (Closed Social Stratification) sedangkan di kota lebih bersifat terbuka (Open Social Stratification). Dengan demikian, setiap orang dengan kemampuan yang dimilikinya mempunyai kesempatan yang sama dan terbuka untuk meniti suatu strata yang lebih tinggi. Status yang dimilikinya, yang diperoleh karena perjuangan dan kemampuannya itu merupakan Achieved Status, yaitu status yang diperoleh karena usaha sendiri. Misalnya: jabatan dalam pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Bintarto (1983: 45) perbedaan tingkat pendidikan dan status sosial dapat menimbulkan suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas ini selanjutnya akan menimbulkan persaingan, sehingga timbul spesialisasi di bidang keterampilan ataupun di bidang jenis mata pencaharian. Dalam hal ini pelapisan sosial ekonomi dapat ditemukan sebagai salah satu ciri sosial di kota.

7. Mobilitas Sosial
Keinginan untuk hidup layak dan mendapatkan posisi atau status lebih tinggi adalah aspek naluriah setiap manusia, karena setiap manusia ingin dihormati sesuai dengan status yang dimilikinya. Dalam masyarakat, semakin tinggi nilai status seseorang, semakin besar pula penghormatan orang terhadap orang itu. Kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan ini (Social Climbing) di kota, hanya dapat dilakukan dengan usaha dan perjuangan pribadi. Perjuangan pribadi artinya kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai status tersebut. Tetapi sebaliknya, seseorang dapat turun kelasnya akibat tindakannya sendiri (misalnya dipecat dari jabatan karena membuat kesalahan).

Kondisi tersebut termasuk dalam kategori mobilitas vertikal, yang sangat mungkin dan sering terjadi pada masyarakat kota. Di samping mobilitas sosial, pengertian mobilitas bagi masyarakat kota juga dikenakan untuk mobilitas fisik, yaitu gerakan-gerakan yang horizontal dari setiap orang secara territorial, yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.

Ada kalanya, gerak mobilitas untuk perpindahan pekerjaan ini disebabkan juga oleh nilai-nilai pekerjaan itu sendiri. Di kebanyakan negara berkembang, status pekerjaan lebih ditekankan pada “gengsi” pekerjaan tersebut. Seperti misalnya, orang lebih menghargai menjadi pegawai negeri daripada wiraswastawan walaupun pendapatan dalam bidang wiraswasta lebih tinggi daripada pegawai negeri. Tetapi karena pekerjaan menjadi pegawai negeri sudah terlanjur memberikan gengsi yang tinggi dan dianggap pekerjaan “white collar”, maka kedudukannya dianggap lebih tinggi dibanding bidang pekerjaan lainnya, yang sering dicap sebagai pekerjaan “blue collar”.

Neil J. Smelser (1968: 186) mengemukakan bahwa analisis masalah mobilitas dan motivasi pada bangsa-bangsa yang sedang berkembang biasanya menganggap bahwa masyarakat yang bersangkutan lebih menitikberatkan untuk memelihara status yang lebih tinggi pada posisi-posisi yang ‘empuk’ akibat tingginya tuntutan-tuntutan pada posisi tersebut. Hal inilah yang menyebabkan bertambah besarnya gap dalam menilai jabatan yang dianggap ‘halus’ dan jabatan yang dianggap ‘kasar’.

Menurut Hert Hoselitz, sangat rendah prestise yang diberikan pada pekerja kasar, yakni pekerja yang mau berkotor tangan. Beberapa pekerja terpaksa mempertahankan posisi pekerjaan yang tidak terkenal itu hanya demi ekonomi mereka. Sedangkan para pekerja ‘white collar’ selalu membayangkan bahwa ‘pekerjaan kasar’ tersebut biasanya ramai dengan buruh-buruh biasa. Dalam beberapa negara sedang berkembang, sifat prestise sosial yang melekat pada pekerjaanpekerjaan ‘white collar’ juga lebih besar, dan ini secara relatif mempunyai korelasi yang sangat erat dengan tingginya angka buta huruf.

Menurut Sorokin dan Zimmerman (Smith T. Lynn, 1951: 53), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya atau kecenderungan ke arah terjadinya mobilitas vertikal, yaitu:
Adanya jabatan-jabatan atau posisi-posisi yang mempermudah orang untuk berpindah secara vertikal baik ke atas maupun ke bawah. Seperti misalnya organisasi militer, organisasi politik, parlemen, universitas, dan sebagainya.
  1. Apabila stratifikasi cukup luas, akan membesar pula kesempatan orang untuk berpindah ke kelas yang satu ke kelas yang lainnya.
  2. Perbedaan tingkat fertilitas, yang menyebabkan semakin berkurangnya orang-orang pada kelas atas perkotaan, dan menyebabkan kosongnya “top position” dari piramida sosial, yang selanjutnya menimbulkan kevakuman yang dapat menciptakan arus vertikal. Faktor ini biasanya sangat jarang terjadi di pedesaan, kerena perbedaan tingkat fertilitas mereka tidak begitu besar atau kurang sama sekali.
  3. Perbedaan sifat biologis dan psikologis antara orang tua dan anak-anaknya. Ini lebih jelas terlihat apabila si anak kurang mampu, paling tidak menyamai orang tuanya. Sehingga dirinya tidak mampu untuk mempertahankan level di mana ia dilahirkan. Misalnya orang tuanya sarjana, sedangkan si anak hanya tamatan SMTA. Demikian juga sebaliknya, apabila si anak ternyata melebihi kemampuan orang tuanya, sehingga memungkinkannya berpindah status yang lebih daripada status di mana ia dilahirkan.
  4. Setiap adanya perubahan lingkungan sosial dan budaya pasti mengarah kepada mobilitas vertikal.


8. Interaksi Sosial
Dilihat dari segi pola interaksi sosialnya, masyarakat kota ditandai oleh sifat individualistis dimana hubungan satu sama lain sering bersifat impersonal. Hubungan impersonal adalah hubungan tidak langsung dan didasarkan pada kepentingan-kepentingan yang sama. hubungan antar manusia sudah merupakan hubungan sekunder, dan tidak lagi didasarkan atas hubungan yang intim, face to face dan kegotongroyongan. Di samping itu hubungan tatap muka ini sudah jarang berlangsung dengan waktu lama, karena komunikasi lewat telepon sudah menjadi alat penghubung yang bukan lagi merupakan suatu kemewahan (Bintarto, 1983:45).

Menurut Mc. Iver dan Page: Di kota terdapat banyak asosiasi dengan keadaan bahwa satu individu adalah anggota dari banyak asosiasi. Hubungan antar manusia lebih bersifat secondary group daripada hubungan yang bersifap primary group, dan juga lebih bersifat hubungan kategoris. Adanya spesialisasi dalam kehidupan ekonomi. Kontrol sosial (sosial control) oleh keluarga sebagai pengganti kontrol sosial masyarakat desa. Keputusan harus diambil oleh individu. Keterampilan dan prestasi lebih menentukan daripada status sosial.

9. Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial yang berlaku pada masayrakat kota adalah solidaritas organis dimana masyarakat dipersatukan oleh banyaknya perbedaan yang saling tergantung satu sama lain. Solidaritas sosial ini lahir sebagai akibat dari pertumbuhan populasi penduduk yang berpengaruh terhadap peningkatan pembagian kerja pada masayrakatnya. Solidaritas organis adalah bentuk solidaritas yang masyarakat didasarkan pada perbedaan dimana tingkat pembagian kerjanya sangat tinggi dan saling tergantung satu sama lain. Karena pembagian kerja mulai meluas, maka kesadaran kolektif pelan-pelan mulai menghilang.

Orang yang aktivitas pekerjaannya menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi akan merasa bahwa dirinya berbeda antara yang satu dengan yang lain dalam kepercayaan, pandangan, nilai, juga gaya hidupnya. Dalam hal ini, pekerjaan berpengaruh pada pengalaman hidup seseorang. Beraneka ragamnya corak atau jenis pekerjaan maka akan berpengaruh pula pada kepercayaan, pandangan, nilai dan gaya hidup seseorang pada umumnya.

Heterogenitas yang demikian bertambah tersebut tidak pula menghancurkan solidaritas sosial masyarakat. justru sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa menjadi semakin tergantung antara yang satu dengan yang lain daripada hanya mencukupi kebutuhannya sendiri saja. Pada masyarakat ini lebih membutuhkan spesialis pekerjaan lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan meningkatnya secara bertahap saling ketergantungan fungsional antara berbagai bagian masyarakat heterogen ini memberikan suatu alternatif baru untuk sebuah kesadaran kolektif sebagai dasar solidaritas sosial yang dinamakan solidaritas organis dan yang berkembang pada masyarakat moderen (Johnson, 1988: 187).

10. Kontrol Sosial

Kontrol sosial dalam suatu masyarakat sangat tergantung seberapa besar vasibilita sosial yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan dan juga kerelaan (permisiveness) dari masyarakat untuk tidak memperhatikan kesalahan yang dibuat oleh anggota masyarakatnya. Tetapi bagi masyarakat kota, vasibilita sosial ini semakin kecil, karena orang kebanyakan tidak mau tahu apa yang diperbuat oleh orang lain, selama perbuatan orang itu tidak merugikan dirinya. Itulah sebabnya kontrol sosial dalam masyarakat kota sudah semakain lemah. Untuk sanksi terhadap diri orang lain, lebih banyak bersifat formal, dan bukan datang dari masyarakat itu sendiri, berupa sanksi pengucilan misalnya.


LihatTutupKomentar

Iklan